Beranda | Artikel
Biografi Ringkas Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2)
21 jam lalu

Sifat fisik

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya, “Ia berkulit putih, memiliki rambut dan janggut hitam, sedikit beruban, suaranya keras dan jelas, rambutnya sampai ke ujung telinga, fasih berbicara, matanya tajam seakan-akan matanya bisa berbicara, tubuhnya sedang, dengan jarak antara bahunya yang lebar, kadang tampak tegas, namun ia bisa mengendalikan tegasnya dengan kesabaran.”[1]

Al-Hafiz Al-Bazzar berkata: “Sesungguhnya sangat jarang terdengar seseorang seperti beliau.”[2

Akhlak dan sifat-sifatnya

Akhlaknya terpancar melalui penerapan dan pengamalan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga tampak dalam cara berinteraksi dan hubungan baiknya dengan orang lain. Berikut adalah beberapa akhlak yang dimiliki oleh Imam Ibn Taimiyah:

Keutamaan berbagi, meskipun dalam keadaan miskin

Meskipun hidup sederhana, Imam Ibn Taimiyah selalu mengutamakan orang lain dengan apa yang ia miliki, baik itu sedikit atau banyak. Ia bahkan tidak meremehkan sedikit pun yang ia miliki dan tetap mendermakan apa yang ada, bahkan jika ia tidak memiliki apa-apa, ia akan melepaskan sebagian pakaiannya untuk diberikan kepada orang miskin. Suatu ketika, ia melihat seorang pria membutuhkan penutup kepala, dan tanpa diminta, ia membagi sorbannya menjadi dua bagian: satu untuk dirinya dan satu untuk pria tersebut.[3]

Kedermawanannya

Imam Ibn Taimiyah dikenal sangat dermawan. Beliau memberikan apa saja yang diminta darinya, seperti uang, pakaian, buku, dan lainnya. Suatu ketika, ada seseorang yang meminta sebuah buku untuk dipelajari, dan beliau memerintahkan orang tersebut untuk memilih buku apa saja. Bahkan, beliau tidak ragu memberikan buku yang sangat berharga yang baru saja ia beli. Beliau juga sangat dermawan dalam menyebarkan ilmu, menjelaskan perbedaan pendapat para ulama, dan memberikan jawaban lebih dari yang diminta, untuk memberi manfaat lebih banyak kepada orang yang bertanya.[4]

Ke-wara’-annya

Imam Ibn Taimiyah memiliki sifat wara‘ yang sangat tinggi. Ia tidak terlibat dalam urusan jual beli, bisnis, atau urusan duniawi lainnya, serta tidak menerima hadiah atau uang dari pemerintah atau penguasa. Hidupnya sangat sederhana dan segala yang ia miliki hanya ilmu yang ia wariskan kepada umat. Beliau mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak mewariskan uang atau harta, melainkan ilmu yang bermanfaat bagi umat.[5]

Kecerdasannya

Imam Ibn Taimiyah diberkahi dengan kemampuan memahami masalah dengan sangat cepat. Banyak orang yang menyaksikan beliau memberikan jawaban dan solusi tepat sebelum mereka sempat bertanya. Beliau juga dikenal mampu mengetahui keadaan orang lain tanpa diberitahu, seperti saat seorang pria yang baru tiba di kota dan sakit, beliau sudah mengetahui dan menolongnya.[6]

Tawadhu‘ dan tidak sombong

Imam Ibn Taimiyah dikenal dengan sifat tawadhu‘ yang sangat tinggi. Ia tidak pernah menunjukkan kesombongan terhadap siapa pun, baik terhadap orang besar maupun kecil. Ia selalu menyapa, berinteraksi, dan memperhatikan kebutuhan orang lain, terutama orang miskin dan lemah. Bahkan, beliau rela membantu mereka dengan tangannya sendiri dan mengunjungi orang sakit setiap minggu. Ia tidak merasa tinggi hati, meskipun beliau seorang ilmuwan besar dan pejuang agama. Tawadhu‘ beliau terlihat jelas dalam cara ia berinteraksi dengan orang lain, baik murid, teman, atau orang yang baru dikenalnya.[7]

Pengangkatannya sebagai pengajar

Imam Ibn Taimiyyah mengambil posisi sebagai pengajar pada usia dua puluh tahun, yang bukan hal baru bagi keluarganya yang terkenal dengan ilmu pengetahuan. Kehidupan Imam Ibn Taimiyyah, tumbuh dalam keluarga yang dikenal dengan ilmu pengetahuan, serta memperoleh ilmu dari keluarganya dan ulama di zamannya sejak kecil, ditambah dengan kecerdasan yang tampak sejak muda, mempersiapkannya untuk memegang posisi pengajaran. Tempatnya telah siap, dan kursi pengajaran kosong setelah ayahnya, yang merupakan pemimpin hadis yang meninggal pada tahun 682 H. Ibn Taimiyyah menggantikan posisi ayahnya setahun setelah kematian ayahnya, yaitu pada usia 22 tahun, yang membuatnya pantas menduduki posisi tertinggi dalam bidang ilmu. Dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadanya, serta kepribadiannya yang luar biasa, ia menjadi sosok yang luar biasa sejak kecil. “Ia sering menghadiri sekolah-sekolah dan pertemuan ilmiah sejak kecil, berdialog dan mengalahkan para ulama senior, dan memberikan jawaban yang membuat mereka terheran-heran. Ia sudah memberi fatwa sebelum berusia sembilan belas tahun, mulai mengumpulkan dan menulis karya ilmiah, dan namanya semakin terkenal di seluruh dunia. Pada tahun 681 H, ia mulai mengajarkan tafsir Al-Qur’an di masjid, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lancar dan tidak terbata-bata, dengan suara yang jelas dan fasih, yang memukau siapa pun yang hadir. Bahkan, para ulama besar pada zaman itu mengaguminya, memberikan pujian atas pengajarannya dan banyak manfaat yang didapatkan, terkejut dengan ketajaman pemikirannya dan kemampuan memahaminya dengan cepat. Seiring berjalannya waktu, ia terus berkembang dengan kualitas pribadi dan bakat luar biasa, serta ilmu yang luas. Ia mulai memberikan pelajaran di masjid besar dengan bahasa Arab yang jelas dan fasih. Banyak orang yang memperhatikannya, dan banyak yang menjadi murid-muridnya yang setia, mengikuti ajarannya. Meskipun pendengarnya beragam (baik yang mendukung atau yang menentang, pengikut sunnah atau yang berpandangan berbeda), ia tetap mengajar dengan penuh semangat. Pelajarannya berfokus pada penghidupan ajaran yang diterima oleh para sahabat di abad pertama, yang menerima Islam dalam bentuk yang murni, tanpa pemikiran asing atau penyimpangan.”[8]

Wafat

Imam Ibnu Taimiyah wafat pada malam Senin, tanggal 20 Zukaidah tahun 728 H, di Benteng Damaskus, di ruangan tempat beliau dipenjara. Banyak orang yang datang ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau, dan mereka diizinkan masuk untuk mengunjunginya, lalu mereka pergi. Yang tinggal hanyalah orang-orang yang bertugas memandikan jenazah atau membantu proses memandikannya. Mereka adalah sejumlah ulama dan orang saleh, termasuk Imam Al-Mizzi dan lainnya.

Setelah selesai dimandikan, benteng tersebut, serta area di sekitarnya, dipenuhi oleh orang-orang. Banyak sekali manusia yang berkumpul di benteng hingga jalan menuju Masjid Jami‘. Ketika kabar wafatnya tersebar, hampir tidak ada seorang pun di Damaskus yang mampu datang untuk salat jenazah, kecuali ikut hadir. Orang-orang menangis, memuji, dan mendoakan beliau dengan penuh rasa belas kasih.

Jenazah Imam Ibnu Taimiyah kemudian dibawa ke Masjid Jami‘ Bani Umayyah, dengan harapan masjid tersebut mampu menampung seluruh jemaah. Namun, banyak orang yang tetap berada di luar masjid karena padatnya kerumunan. Jenazahnya diusung oleh para pembesar, bangsawan, dan orang-orang terhormat, serta mereka yang merasa mendapatkan kehormatan untuk ikut memikulnya.

Setelah itu, jenazah dibawa ke tanah lapang yang luas, di mana orang-orang kembali melaksanakan salat jenazah. Jenazah kemudian diangkat di atas kepala orang-orang yang memadati, maju mundur karena derasnya arus manusia. Suara tangisan, rintihan, doa, dan pujian untuk beliau terdengar di mana-mana. Di tengah kerumunan, seseorang berteriak, “Inilah yang pantas untuk jenazah para Imam Ahli Sunah!” Hal ini membuat orang-orang semakin menangis dengan sangat.

Jenazah akhirnya dimakamkan di Pemakaman Shufiyyah sebelum waktu Asar. Diperkirakan jumlah wanita yang hadir mencapai 15 ribu orang, sedangkan jumlah laki-laki berkisar antara 60 hingga 200 ribu orang. Tidak pernah terlihat prosesi pemakaman sebesar ini kecuali untuk Imam Ahmad bin Hanbal, karena keduanya memiliki keutamaan ilmu, amal, zuhud, ibadah, meninggalkan dunia, dan fokus pada akhirat.

Salah satu tanda husnul khatimah Imam Ibnu Taimiyah adalah wafatnya beliau setelah selesai membaca firman Allah:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.[9]

Perkataan ulama tentang Ibnu Taimiyyah

Para ulama besar pada masa Imam Ibnu Taimiyah banyak memuji beliau dan memberikan sanjungan yang melimpah. Hal ini disebabkan karena mereka menyaksikan bagaimana beliau menggabungkan antara ucapan dan perbuatan, menjadi seorang imam dalam agama, sekaligus hidup dalam kezuhudan terhadap gemerlap dunia.

Mereka juga melihat bagaimana beliau senantiasa mengikuti jejak para salaf saleh, menghidupkan petunjuk mereka, dan mengibarkan panji jihad di jalan Allah. Semua ini menjadikan beliau sosok ulama yang dihormati dan dicintai oleh generasi pada zamannya.

Imam Ibnu Daqiq Al-‘Id berkata, “Ketika aku bertemu dengan Ibnu Taimiyah, aku melihat seorang lelaki yang semua ilmu berada di depan matanya. Ia mengambil apa yang ia kehendaki dan meninggalkan apa yang ia kehendaki. Aku berkata kepadanya,’Aku tidak pernah menyangka bahwa Allah masih menciptakan orang sepertimu!`”[10]

Imam Adz-Dzahabi mengatakan, “Ia adalah tanda keajaiban dalam kecerdasan dan kecepatan pemahaman, pemimpin dalam ilmu Al-Qur’an dan Sunnah serta perbedaan pendapat, samudra dalam ilmu naqli. Pada masanya, ia adalah satu-satunya yang unggul dalam ilmu, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma’ruf nahi mungkar, serta banyaknya karya tulisnya.” Beliau juga berkata, “Ia terlalu besar untuk seseorang seperti diriku menyoroti biografinya. Jika aku disumpah di antara Rukun dan Maqam, aku akan bersumpah bahwa aku belum pernah melihat dengan mataku seseorang sepertinya, dan bahwa ia pun tidak pernah melihat dirinya seperti dalam hal ilmu.”[11]

***

Penulis: Gazzeta Raka Setyawan


Artikel asli: https://muslim.or.id/102715-biografi-ringkas-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-2.html